Entri Populer

Jumat, 28 Desember 2012

bioteknologi mikroba untuk pertanian organik

Artikel Pertanian : BIOTEKNOLOGI MIKROBA UNTUK PERTANIAN ORGANIK Alasan kesehatan dan kelestarian alam/lingkungan menjadikan pertanian organik sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan bahan-bahan alami dan menghindari segala asupan yang berbau sintetik, baik berupa pupuk sintetik, herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil produksi pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber kekayaan hayati non sintetik. Tanah adalah habitat yang sangat kaya akan keragaman mikroorganisme seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah-tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba-mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian. Mikroba tanah antara lain berperan dalam mendegradasi limbah-limbah organik pertanian, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen dari udara, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan tanaman, biokontrol patogen tanaman, membantu penyerapan unsur hara tanaman, dan membentuk simbiosis menguntungan. Bioteknologi berbasis mikroba tanah dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tanah tersebut. Teknologi Kompos Bioaktif Salah satu masalah mendasar yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik tanah dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Pupuk hijau dan pupuk kandang sebenarnya adalah limbah-limbah organik yang telah mengalami penghacuran sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman. Limbah organik seperti sampah dedaunan, seresah, kotoran-kotoran binatang ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur-unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Secara alami proses pengkomposan ini memakan waktu yang sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman. Proses penghancuran limbah organik dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang memiliki kemampuan tinggi. Penggunaan mikroba penghancur ini dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk mempercepat proses pengomposan, misalnya: SuperDec, OrgaDec, EM4, EM Lestari, Starbio, Degra Simba, Stardec, dan lain-lain. Dr. Didiek H Goenadi, Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, mendefinisikan kompos bioaktif sebagai kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulolitik unggul yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman. SuperDec dan OrgaDec, produk biodekomposer yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), dikembangkan berdasarkan filosofi tersebut. Mikroba biodekomposer unggul yang digunakan adalah Trichoderman pseudokoningii, Cytopaga sp, dan fungi pelapuk putih. Mikroba tersebut mampu mempercepat proses pengomposan menjadi sekitar 2-3 minggu. Mikroba tetap hidup dan aktif di dalam kompos. Ketika kompos tersebut diberikan ke tanah, mikroba akan berperan untuk mengendalikan mikroba-mikroba patogen penyebab penyakit tanaman. Keuntungan penggunaan kompos bioaktif untuk pertanian organik selain mempercepat waktu pengomposan dan menyediakan kompos yang berkualitas tinggi, juga berperan sebagai agensia hayati untuk mengendalikan penyakit tanaman, terutama penyakit yang menyerang dari dalam tanah. Kekawatiran para petani organik akan tanamannya yang mudah diserang penyakit dapat di atasi dengan menggunakan kompos bioaktif. Biofertilizer Petani organik sangat alergi dengan pupuk-pupuk kimia atau pupuk sintetik lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman, petani organik umumnya mengandalkan kompos sebagai sumber utama nutrisi tanaman. Sayangnya kandungan hara kompos rendah. Kompos yang sudah matang kandungan haranya kurang lebih : 1.69% N, 0.34% P2O5, dan 2.81% K. Dengan kata lain seratus kilogram kompos setara dengan 1.69 kg Urea, 0.34 kg SP 36, dan 2.18 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi yang kebutuhan haranya kg Urea/ha, kg SP 36/ha dan kg KCl/ha, maka kompos yang dibutuhkan kurang lebih sebanyak ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan berimplikasi pula pada biaya produksi. Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupaun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba tanah. Hara N sebenarnya tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman. Tidak ada satupun tanaman yang dapat menyerap N dari udara. N harus difiksasi/ditambat oleh mikroba tanah dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dengan tanaman dan ada pula yang hidup bebas di sekitar perakaran tanaman. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp. Rhizobium sp hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara tanaman adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah-tanah yang lama diberi pupuk superfosfat (TSP/SP 36) umumnya kandungan P-nya cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah yang sukar larut. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat tanah dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Zerowilia lipolitika, Pseudomonas sp, … ,………… Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza seringkali ditemukan pada tanaman-tanaman keras/berkayu, sedangkan endomikoriza ditemukan pada banyak tanaman, baik tanaman berkayu atau bukan. Mikoriza hidup bersimbiosis pada akar tanaman. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering ditemukan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp. Beberapa mikroba tanah juga mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat untuk melarutkan unsur hara, membantu penyerapan unsur hara, maupun merangsang pertumbuhan tanaman diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer untuk pertanian organik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang dikembangkan oleh BPBPI antara lain: Emas, Rhiphosant, Kamizae, dan Simbionriza. Agen Biokontrol Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu kendala serius dalam budidaya pertanian organik. Jenis-jenis tanaman yang terbiasa dilindungi oleh pestisida kimia seperti jenis-jenis hibrida, umumnya sangat rentah terhadap serangan hama dan penyakit ketika dibudidayakan dengan sistim organik. Alam sebenarnya telah menyediakan mekanisme perlindungan alami. Di alam terdapat mikroba-mikroba dapat mengendalikan organisme patogen tersebut. Mikroba atau organisme patogen akan menyerang tanaman ketika terjadi ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya. Di sini jumlah organisme patogen lebih banyak daripada jumlah mikroba pengendalinya. Apabila kita dapat menyeimbangakan populasi kedua jenis organisme ini, maka hama dan penyakit tanaman dapat dihindari. Mikroba yang dapat mengendalikan hama tanaman antara lain: Bacillus thurigiensis (BT), Bauveria bassiana, Paecilomyces fumosoroseus, dan Metharizium anisopliae. Mikroba-mikroba ini mampu menyerang dan membunuh berbagai serangga yang menjadi hama tanaman. Mikroba yang dapat mengendalikan penyakit tanaman misalnya: Trichoderma sp. Trichoderma sp mampu mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh Gonoderma sp, JAP (jamur akar putih), atau Phytoptora sp. Aplikasi pada Pertanian Organik Produk-produk bioteknologi mikroba hampir seluruhnya menggunakan bahan-bahan alami. Produk-produk ini dapat memenuhi kebutuhan petani organik. Kebutuhan akan bahan organik tanah dan hara tanaman dapat dipenuhi dengan kompos bioaktif dan aktivator pengomposan. Aplikasi biofertilizer pada pertanian organik dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman yang selama ini dipenuhi dari pupuk-pupuk kimia. Serangan hama dan penyakit tanaman dapat dikendalikan dengan memanfaatkan biokotrol. Selama ini petani Indonesia yang menerapkan sistem pertanian organik hanya mengandalkan kompos dan cenderung membiarkan serangan hama dan penyakit tanaman. Dengan tersedianya bioteknologi berbasis mikroba, petani organik tidak perlu kawatir dengan masalah ketersediaan bahan organik, unsur hara, dan serangan hama dan penyakit tanaman. Bioteknologi Solusi Pangan dan Kelaparan Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia. Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Sayangnya, harapan tinggal harapan ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2 tahun terakhir. Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang butuh makan dalam 30 tahun ke depan. Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia. Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Sayangnya, harapan tinggal harapan ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Salah siapa jika kemudian kelaparan mulai merajalela? Food and Agriculture Organization (FAO) baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2 tahun terakhir. Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang butuh makan dalam 30 tahun ke depan. Di sisi lain, produktivitas pertanian dunia, khususnya di negara-negara agraris pemasok produk pangan tidak meningkat secara simultan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Padahal, Revolusi Hijau telah mengajarkan pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian untuk mendongrak efisiensi usaha tani. Jelas, bertahan dengan usaha tani konvensional tidak akan memberikan hasil lebih baik di tengah tekanan peningkatan kebutuhan pangan yang terus-menerus. Bagi Indonesia, seharusnya kondisi ini menjadi peluang mengingat potensi sektor pertanian masih mungkin dilipatgandakan. Sayangnya, model-model usaha tani konvensional yang hanya mengandalkan kemampuan alam secara alami justru mendominasi kantong-kantong sentra pertanian. Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengakui bahwa pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian pada teknologi inovatif baru yang berasal dari bioteknologi modern, bahkan sejak 20 tahun yang lalu. Apa hasilnya? Memang, belum tampak signifikan. Kendalanya bukan lagi menjadi rahasia. Indonesia belum siap memanfaatkan produk bioteknologi pada tanaman pangan karena kendala instrumen kebijakan yang tidak lengkap. Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian Sutrisno mengungkapkan tanpa instrumen kebijakan pemanfaatan produk transgenik tidak mungkin dilakukan di dalam negeri. Akibatnya, pengembangan bioteknologi yang dirintis sejak 1996 hingga kini belum optimal. Padahal, dua komoditas pangan telah dikembangkan melalui bioteknologi, yaitu padi dan kentang, meskipun hasilnya baru mencapai 20% dari target. Sutrisno memang tidak patah arang. Dengan anggaran yang tidak lebih dari Rp700 juta per tahun, daya riset pun terbatas. Basis riset bioteknologi harus dipilih untuk mengoptimalkan penelitian pada produk unggulan yaitu tomat, tebu, dan jarak pagar. Lebih siap Bandingkan dengan Filipina, misalnya. Dengan dukungan yang kuat dari pemerintah, termasuk soal anggaran yang hampir tidak terbatas untuk riset bioteknologi pertanian, negara ini lebih siap menangkal ledakan konsumsi pangan pada masa mendatang dengan memanfaatkan teknologi itu. Bioteknologi menjadi sebuah nilai tambah ketika lahan di negara itu tidak lagi dapat diandalkan untuk mendongrak peningkatan hasil produksi pertanian. Filipina kini tercatat sebagai negara pertama di Asia yang menanam tanaman produk bio-teknologi untuk bahan pangan yaitu jagung. Pertama kali ditanam pada 2002 di areal 126 hektare, jagung Bt di Filipina mampu mendongrak pendapatan petani karena produksi berlipat 60% per ha. Sepanjang 2003-2005, keuntungan pertanian jagung Bt mencapai US$8,5 juta. Hingga pada 2007 luas pertanaman ini melonjak hingga 300.000 ha dengan pendapatan petani penanam jagung mencapai US$181 per ha. Nilai yang sungguh fantastis. Selain mengoptimalkan penanaman, Filipina juga berhasil mengembangkan padi dan kelapa tahan penyakit. Rekayasa genetik juga dilakukan pada tanaman pepaya agar lebih tahan hama sekaligus meningkatkan hasil panen. Langkah serupa juga dilakukan di China dan India. Meskipun belum mengembangkan bioteknologi untuk tanaman pangan, kedua negara ini telah membuktikan manfaat teknologi tersebut pada produksi kapas. Lalu, di manakah posisi Indonesia? Jawabnya, mungkin hanya soal waktu. Sebab, soal kompetensi, ahli bioteknologi di dalam negeri tidak perlu diragukan. Setidaknya, ini terbukti dengan adanya beberapa negara yang berminat melakukan kerja sama dengan ahli-ahli Indonesia, seperti Iran dan Filipina. Pun pada 2001, untuk pertama kalinya di Asia Tenggara, Departemen Pertanian merilis dua varietas tanaman padi biotek, yaitu Code dan Angke, yang masing-masing mengandung gen xa-7 dan xa-5 sehingga mampu menoleransi serangan penyakit hawar daun bakteri. Hanya saja, 'jebakan' birokrasi dan instrumen kebijakan yang tidak pernah menjadi prioritas menjauhkan petani Indonesia dari perkembangan bioteknologi di dalam negeri. Produk bioteknologi tidak pernah membumi di level itu. Semestinya, harga pangan yang sempat melambung tinggi pada 2007 menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Indonesia untuk belajar. Sekarang, pilihannya sederhana: memanfaatkan bioteknologi atau kelaparan? Jam 13:36:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar